
JAKARTA- Ir. Soekarno merupakan Bapak Proklamator Indonesia.
Namun, tak banyak orang tahu bahwa Ir. Soekarno banyak meninggalkan sejarah,
selain kemerdekaan bangsa Indonesia, Bung karno juga meninggalkan sejarah
pernah menanam Pohon Sawo Apel yang hingga saat ini masih berdiri kokoh dan
tumbuh di Komplek Pusat Diklat Kejaksaan RI ( kini Badan Pendidikan dan
Pelatihan Kejaksaan RI ) yang terletak di kawasan Ragunan, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan.
Penelusuran media ini pada Minggu ( 10/10/2021 ) ada Pohon
Sawo Apel ( Sapo Taceae ) yang berdiri
tegak, kokoh dan tumbuh di komplek Badan Diklat Kejaksaan RI, tepatnya berada
di sisi lapangan apel sebelah kiri gedung mako ( Wicaksana-red ) diketahui di tanam
oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno pada awal tahun 1965, dan hingga kini
pohon itu telah menghadirkan kesejukan dan juga berfungsi sebagai penyaring
udara di bumi Kawah Candradimuka Korps Adhyaksa.
Hasil daripada dampak buah tangan yang dibawa oleh Presiden
RI Soekarno itu, tumbuh menjadi pohon yang dapat memberi banyak manfaat bagi
pegawai ( Badiklat-red ) dan masyarakat khususnya warga Korps Adhyaksa yang
sedang menempa ilmu ( Peserta Diklat- red ) salah satunya dijadikan tempat
berteduh untuk para peserta Diklat dikala istirahat PBB ( Peraturan baris
Berbaris ), Olahraga maupun selesai upacara.
Kini pohon tersebut telah dipugar oleh Badan Diklat
Kejaksaan RI dengan di lingkari dan ditandai monumen prasasti yang bertuliskan
Pohon Sawo di Tanam awal TH 1965 oleh Presiden RI Pertama Ir. Soekarno.
Sebagaimana diketahui Soekarno begitu antusiasnya mencintai
alam dan pepohonan hingga menginspirasi nilai-nilai leluhur ke dalam lima sila
(Pancasila).
Presiden Soekarno gemar menanam pohon sejak kecil. Kecintaan
Soekarno pada pohon atau tanaman berangkat dari masa kecilnya yang dekat dengan
alam. Dalam otobiografinya karya Cindy Adam dikutip History, Bung Karno
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dia dan teman-temannya suka bila sebuah
pohon tumbuh.
Sewaktu menjalani pembuangan di Ende, Sukarno senang
merenung di bawah sebuah pohon sukun. Di bawah pohon itulah dia menggali
nilai-nilai leluhur. Lima cabang pohon itu konon menginspirasi Sukarno
mensintesiskan nilai-nilai leluhur ke dalam lima sila (Pancasila). Kelak,
penduduk menamakan pohon itu sebagai pohon Pancasila.
Saat sudah berkuasa, Sukarno menaruh perhatian pada upaya
pelestarian hutan. Hal itu tercermin dalam pidatonya pada Kongres Boeroeh
Kehoetanan di Malang, 27 September 1946. Menurutnya, sebagaimana dikutip harian
Merdeka, 1 Oktober 1946, “350 tahun kita tak bernegara. Kita ingin hidup
bernegara. Kita berjuang menumpahkan darah untuk hidup. Hidup minta makan,
makan minta padi, padi minta hutan. Tidak ada hutan, tidak ada sumber, tidak
ada air.”
Di berbagai tempat yang dia kunjungi, Sukarno biasa
menyempatkan menanam sebuah pohon.
Di Berastagi, ketika dia dan beberapa pemimpin Republik
dibuang saat agresi militer Belanda kedua, sempat menanam sebuah pohon beringin
di pekarangan rumah yang menjadi tempat penahanannya.
“Itu beringin Sukarno. Pak Sukarno yang menanam,” ujar istri
Sumpeno, penjaga rumah, kepada Historia. Pada 1960, Sukarno juga menanam pohon
beringin di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pohon ini kemudian dikenal
dengan nama “Beringin Sukarno.”
Pada 1955, ketika naik haji, Sukarno tak hanya membawa
banyak bibit pohon mimba tapi juga beberapa ahli untuk mengurusnya. Bibit-bibit
itu kemudian ditanam di padang Arafah, dan pada gilirannya menghijaukan padang
gersang. Kerajaan Saudi menyebut pohon itu “Syajarah Sukarno atau Pohon
Sukarno” sebagai penghargaan atas jasa baik Sukarno.
Ketika melihat kondisi Jakarta yang dianggapnya sudah tak
representatif sebagai ibukota negara, Sukarno membuat rencana pemindahan
ibukota ke Palangkaraya. Sukarno ikut membuat master plan, lengkap dengan sabuk
hijaunya.
“Oleh karenanya dapat dipastikan sabuk pohon atau jalur
hijau atau hutan kota akan ditanam di sepanjang jalan-jalan protokol Kota
Palangkaraya,” tulis Wijanarka dalam Sukarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di
Palangkaraya. Pada 17 Juli 1957, Sukarno melakukan pemancangan tiang pertama
sebagai penanda dimulainya pembangunan Palangkaraya. Namun, ibukota tak jadi
pindah kesana, tetap di Jakarta.
Tak hanya di luar, Sukarno juga menanam pohon di Istana
Negara. “Itu pohon beringin yang di Istana dia yang tanam,” ujar Maulwi kepada
Historia. Keterangan Maulwi diperkuat kesaksian ajudan Sukarno, Bambang
Widjanarko dalam Sewindu Dekat Bung Karno. Menurutnya, sang presiden sangat
perhatian kepada taman dan pepohonan yang mengisinya. Hampir tiap pagi dia meminta
Bambang menemaninya berkeliling memperhatikan taman-taman Istana.
Hal yang sama juga terjadi ketika Sukarno berada di Istana
Tampaksiring, Bali. “Sukarno senang bekerja di kebun pagi hari dan menanam
banyak pohon dan menghabiskan waktu di Istana dengan tangannya sendiri,” tulis
Horst Henry Geerken dalam A Magic Gecko.
Selain itu soekarno juga menanam pohon di komplek Gelora
Bung Karno Senayan yang dibangun pada masa Bung Karno panggilan akarab Presiden
Soekarno, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962 dan masih banyak
lagi pohon pohon yang ditanam oleh putra sang fajar yang juga penyambung lidah
rakyat itu. ( Muzer )