
JAKARTA BARAT – Di tengah hiruk-pikuk tugas sebagai pimpinan tertinggi di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, Hendri Antoro, S.Ag, S.H., M.H., justru meluangkan waktu setiap harinya untuk hadir, mengajar, dan membentuk karakter generasi penerus Adhyaksa.
Setiap pagi, sebelum roda institusi ini berputar dengan ritme penegakan hukum yang tak pernah berhenti, Hendri sudah bersiap — bukan di balik meja, tapi di depan para peserta Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan 82 Gelombang II yang sedang menjalani praktik kerja lapangan (PKL) di Kejari Jakarta Barat.
Bagi para peserta, kehadiran langsung seorang Kajari dalam setiap sesi bukan sekadar sebuah kehormatan — itu adalah teladan. Dan bagi institusi Kejaksaan, ini adalah cermin komitmen tak tergoyahkan untuk menyiapkan jaksa-jaksa yang tak hanya tajam dalam berpikir, tapi juga bersih dalam nurani.
“Pembentukan jaksa bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi juga karakter. Kita tidak ingin hanya mencetak penegak hukum yang cerdas, tapi juga yang berintegritas dan berhati nurani,” tegas Hendri di hadapan para peserta, dalam satu sesi penuh semangat dan keheningan yang khidmat.
Hendri tak sekadar membacakan slide atau mengutip pasal. Ia membawa pengalaman hidupnya ke dalam ruang kelas. Ia menarasikan dilema penuntutan, tanggung jawab moral seorang jaksa, serta nilai-nilai Adhyaksa yang tidak tertulis di buku manapun, tetapi terpatri dalam tindakan dan pilihan.
Hari ini, Kamis (7/8/2025), sosok yang dikenal kalem dan sederhana ini membawakan studi kasus yang menggetarkan nurani — perkara Nani Apriliani, pengirim sate beracun yang menewaskan seorang anak di Bantul. Ia tidak hanya membedah kronologi, tapi juga mengajak peserta menyelami asas-asas mendasar dalam hukum pidana seperti:
- Error in persona: saat pelaku bermaksud menyakiti satu orang, tetapi korban justru orang lain karena salah identifikasi.
- Aberratio ictus: ketika serangan meleset dari target, mengenai pihak lain, karena kekeliruan atau kelalaian teknis.
Dua asas ini, kata Hendri, bukan sekadar teori. Ia adalah pengingat, bahwa dalam setiap pena jaksa yang ditorehkan di berkas tuntutan, ada nasib manusia yang dipertaruhkan.
“Menjadi jaksa bukan sekadar menuntut hukum ditegakkan, tetapi juga memastikan kebenaran dan keadilan tidak salah arah,” tuturnya dengan nada mantap namun teduh.
Pembekalan harian ini bukan kewajiban formal. Ini adalah panggilan nurani. Langkah Hendri Antoro telah menegaskan bahwa kepemimpinan sejati tak selalu tampil di podium, tetapi sering kali hadir dalam keheningan ruang kelas, dalam diskusi, dalam jam-jam tambahan yang diam-diam ia sisihkan untuk para calon jaksa.
“Pembentukan Jaksa Berkualitas Dimulai dari Ilmu dan Keteladanan,” pungkas Hendri.
Satu tindakan bisa menjadi inspirasi. Dan satu pemimpin yang mau hadir, memberi waktu, dan membagi pengetahuan — bisa mengubah arah hidup banyak orang. Itulah yang dilakukan Hendri Antoro. Dan dari sana, masa depan Adhyaksa pun mulai ditulis ulang — dengan tinta dedikasi.
Penulis: Muzer