
JAKARTA – Sekitar 68 siswa Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXXII Gelombang I Tahun 2025 melakukan kunjungan PKL dan belajar mengenai konstitusi sekaligus seluk-beluk Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/7/2025). Mereka diterima langsung oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Heru Setiawan dan diajak melihat Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta.
“Lahirnya Mahkamah Konstitusi merupakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945,” ujar Heru.
Heru memberikan nasehat kepada para siswa untuk tetap semangat mengikuti pelatihan. Heru juga mengingatkan mereka sebagai penegak hukum untuk tidak meninggalkan ibadah.
Setelah itu, para siswa berdiskusi dengan Analis Hukum Ahli Pertama MK Aditya Yuniarti. Aditya menjelaskan ide pembentukan MK tidak muncul serta merta, melainkan telah muncul sejak awal Republik ini ada, yaitu dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Gagasan pembentukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD dilontarkan Mohamad Yamin dalam sidang BPUPKI.
Dia menuturkan MK berwenang menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah menurut UUD 1945. Selanjutnya Aditya menjelaskan komposisi Hakim Konstitusi. Sembilan orang Hakim Konstitusi masing-masing tiga orang dipilih oleh DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung (MA).
Kinerja Hakim Konstitusi didukung Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. Seorang Hakim Konstitusi tidak boleh rangkap jabatan. Ketika seseorang menjadi Hakim Konstitusi dia harus mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya. Sembilan Hakim Konstitusi sehari-hari diawasi oleh Majelis Kehormatan MK.
Aditya juga menerangkan, MK sebagai lembaga peradilan tidak boleh menolak perkara. Persidangan di MK terbuka untuk umum sehingga dapat dilihat oleh seluruh masyarakat dari mana pun. MK juga menerapkan asas audi et alteram partem, yang berarti bahwa dalam persidangan MK mendengar berbagai pihak yang terkait dengan suatu perkara.
MK juga menerapkan asas praduga konstitusional hingga MK memutus suatu perkara. Asas-asas itu juga berlaku di peradilan umum di bawah MA. Namun demikian, MK berbeda dengan Mahkamah Agung (MA) yang bisa memerintahkan eksekusi, sementara pelaksanaan putusan MK tergantung dari kesadaran konstitusional para pihak.
Ada dua jenis pengujian UU di MK yakni uji formil dan uji materil. Dalam uji formil memeriksa proses pembentukan dari suatu UU apakah telah sesuai ketentuan yang berlaku atau tidak. Pengajuan uji formil dibatasi jangka waktu, yaitu 45 hari sejak UU tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara. Sementara pengujian materil menguji substansi dari suatu UU dan tidak dibatasi oleh waktu.
Permohonan pengujian UU dapat diajukan oleh seluruh warga negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya suatu norma dalam UU. Dalam Pengujian UU, menurut Aditya, masyarakat tidak berhadap-hadapan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden (Pemerintah). Kehadiran DPR dan Presiden dalam persidangan adalah untuk memberikan keterangan sebagai pembentuk UU.
“Pemohon tidak melawan pemerintah, tidak melawan DPR, tetapi merasa ada hak konstitusional yang dirugikan,” kata Aditya.
Sumber/Foto: MKRI (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)